Blog Archive
Diberdayakan oleh Blogger.
Entri Populer
-
Gejala Printer ini minta direset bisa di lihat dari lampu indicator nyala warna merah, teru...
-
Hadoh udah lama gak update, maaf kan blogger malas ini ya tuhan. Kali ini cuman trik lama dan mungkin udah banyak yang posting kayak gini ju...
-
Gak kerasa udah pertengahan Maret. Itu berarti gue udah lama gak update. Yah, karena kesibukan dan kemalasan selalu menemani, jadi jarang up...
-
Gila, gue hampir lupa punya blog. apakah ini faktor umur atau bukan yang jelas gue emang lupa. Muahaha. Akhir akhir ini gue jadi demen nge...
Minggu, 03 Juni 2012
(cerpen) Cuminya Kasihan Banget
Di depan gue saat ini
ada ruangan 10 x 10 meter dengan pemandangan yang paling mengerikan. Kerlap
kerlip, penuh rnamen unyu-unyu, dan satu lagi yang gak kalah serem:
dindingnya berwarna pink, beuh.
Mungkin bagi cewek,
toko accessories serba pink ini adalah pemandangan bak di surga. Tapi bagi gue,
ini seperti ruangan penyiksa abad 21. Gue harus memilih 2 pilihan, masuk dengan
resiko dianggap cowok melambai, atau gak masuk lalu dianggap cemen sama gebetan
kita. Dan sebentar lagi gue akan masuk kesana.
Oh Tuhan selamatkanlah
saya.
***
Malam minggu ini gue
akan first date dengan seorang Ina.
Ina adalah temen kuliah
gue. Wajahnya manis, kulitnya putih, rambutnya hitam sebahu (bukan, dia bukan
mochi berambut). Mukanya tambah manis kalau tersenyum. Berubah pahit kalau
disiram oli.
Perkenalan gue dan Ina
bermula saat gue dan Rangga, sedang berjalan anteng di kampus. Tiba-tiba dari
jauh terlihat cewek melambai ke arah gue. Sebagai cowok normal tentu gue geer.
Tidak hanya melambai,
dia juga berlari ke arah gue. Kontan gue panik, karena saat itu gue hanya
memakai kaus putih dengan jaket yang di bagiannya keteknya bolong, dipadu
celana jeans bapuk. Intinya: gue seperti gembel professional.
Mencoba tidak peduli, perhatian gue kembali ke
cewek tersebut. Jarak gue dan dia semakin dekat. Gue memasang muka super
ganteng. Dia semakin dekat dan semakin dekat, lalu dalam hati gue berkata, “Ih,
dia tersenyum, manisnya. Ah, dia melambai, cute nya. Hii, dia ngupil, jorok
nya!!!”
Dia udah deket banget.
Gue memasang muka yang lebih ganteng lagi, lalu gue sadar kegantengan gue udah
mentok. Gue senyum selebar mungkin, bahkan gue siap berpelukan. Lalu dia
berkata,
“Hai Ga, mo kemana?”
Ga? Mangga siapa? oh,
ternyata dia tersenyum ke Rangga. Oh mampuslah gue.
Pingsan.
Setelah kejadian
memalukan itu, gue kenalan dengan dia. Gue tau dia namanya Ina, dia juga tau
nama gue Erik. Gue tau no hp nya 081234567xxx, dia juga tau no hp gue
08133333xxx, lalu berapakah nilai x? (lho?).
Ina suka sekali makan
makanan Jepang seperti shusi. Sedangkan gue taunya cuman mie ayam ibu Susi. Ina
suka sekali nonton infotaiment, sampai-sampai dia tau gosip yang lagi hot dan
yang udah gak hot. Dari artis lokal sampai yang interlokal (gosip kok kayak
telepon). Intinya kita saling mengenal layaknya orang pdkt.
Tiap malam bawaanya
gelisah terus. Mau makan, inget Ina. Mau minum, inget Ina lagi, mau bikin KTP
baru, deh inget pak RT. Rasanya semua isi rumah itu Ina semua. Bahkan, pas gue
ngasih makan kucing gue, entah mengapa si Empus
jadi mirip Ina. Sampai-sampai ketika si Empus makan, gue jadi panik lalu
berteriak, “Ina jangan makan itu, itu makanan kucing. JANGAN!” Setelah itu si Empus malah nyakar gue.
Mungkinkah gue jatuh
cinta, tapi apa yang membuat gue jatuh cinta.
Persetan dengan alasan,
yang jelas, gue emang jatuh cinta pada Ina. Karena udah gregetan pengen jadiin
dia pacar, akhirnya gue pun ngajak ngedate untuk yang pertama kalinya. Biar apdol sekalian aja gue tembak. Yah, it’s
good idea.
***
“Ayo,” kata Ina pada
gue yang sedari tadi memasang muka horror, seolah habis melihat nenek-nenek
joget shuffle. Kita berdua sedang berdiri di depan toko accessories serba pink.
“Uhh,” gue menggeleng.“Kayaknya
gue nunggu disini aja deh.”
“Kenapa lo?” tanya Ina.
Dia menatap muka gue yang setengah enggan. “Oh,” dia mangut-manggut ngerti.
“Gapapa kali, santai aja.”
“Gak deh kayaknya. kalo
temen gue lihat gimana?” kata gue. “Atau yang lebih parah, kalo nyokap mergokin
gue di tempat kayak gitu, gue mesti bilang apa coba, APA?”
Ina ketawa pelan. “Duh, cemen lo.”
Anjrit gue dikatain
cemen.
“Santai aja gak bakal
di kira kok,” lalu Ina melanjutkan, “Kan udah mirip haha,” Ina ketawa ngakak.
Gue ikutan ketawa,
“Becanda lo hahaha…”
“Gue serius.” Ina
ketawa lagi lebih keras
Gue diem.
Entah bercanda atau tidak,
baru saja gue di bilang ‘mirip cowok melambai’ sama gebetan yang mau gue tembak. Ini jelas tidak baik.
“Oke-oke kita nonton
aja ya,” kata Ina
Gue sujud syukur.
Kita kemudian berjalan
ke bioskop.
Karena ini malam
minggu, mall terlihat ramai oleh pasangan
kekasih. Mereka berjalan bergandengan tangan, gue sendiri cuman berjalan
bersebelahan tanpa bergandengan. Jelas, ini semacam tekanan sosial buat gue. Di
satu sisi gue pengen banget gandeng Ina, di sisi lain gue gak mungkin tiba-tiba
gandeng tangan Ina, bisa-bisa malah dia nyakar gue atau yang paling parah, dia
bakal nyakar gue pake silet, ngelindes pake gerobak, terus dicincang dijadikan
makanan sapi..
Begitu sampai di
bioskop, masalah muncul lagi.
Semua orang tau,
menonton film sebelum nembak pengaruhnya besar. Ini masalah bagaimana membentuk
mood dengan baik . Kalau kita menonton film komedi, mood bercanda lah yang
naik, kalau kita nonton film romantis, tentu mood cinta-cintaanlah yang
terbentuk.
Intinya: kita harus selektip dalam memilih
film.
Masalahnya : gue gak
tau film romantis mana yang bagus.
“Mau nonton apaan?”
seru Ina sambil celingukan.
“Uhh, apaan yah?” gue
garuk-garuk kepala.
“Gimana kalau yang
itu?” Ina menunjuk ke arah gambar di dinding
belakang gue.
Terlihat di sana, film
kartun dengan gambar beberapa orang cebol warna biru.
Oh wow, kata gue dalam
hati. Film macam apa ini? Apakah ini film tentang orang cebol yang suka minum
cat, hingga tubuh mereka berubah warna? Apakah saat kecil, orang tua mereka
tidak menasehatinya, “Nak, cat itu buat dinding, bukan untuk diminum."
“Film apaan tuh, cebol
biru-biru gitu?” tanya gue heran.
“Gak tau, tapi kayaknya
seru aja. Sesekali liat film kartun gak apa-apa kan?”
“Gak mau yang laen?”
"Film apa ?"
Ina balas nanya.
Gue lalu melihat film
lain. Gue shock. Film lain malah lebih parah. Ada film hantu gak jelas: dengan
gambar cowok, item, basah, dekil. Itu hantu atau orang kecebur got. Ada lagi
Film anak-anak maen bola. Walaupun terlihat normal, agak aneh buat gue,
jauh-jauh ke mall cuman liat anak maen bola. Di kampung gue juga banyak. Maka
itu gue cuman bilang “Ok, film kartun aja.”
Maka rencana membangun
mood cinta-cintaan berubah menjadi mood minum cat bareng-bareng.
Sehabis nonton film
yang aneh itu (dan ternyata emang seru), gue ngajakin Ina ke sebuah rumah makan
sunda.
Ini pertama kalinya gue
ke rumah makan ini. Karena rumah makan ini juga baru dibuka sekitar semingguan.
Gue tau tempat ini, dari seorang teman
katanya, “Di sana enak banget, tempatnya adem, murah lagi.” Dengan alasan
pengen makan di tempat yang adem (dan juga murah tentunya), gue pun coba-coba.
Gue melihat-lihat seisi
rumah makan. Semuanya terbuat dari bambu, di tengah-tengahnya ada kolam ikan.
Ikannya gede-gede pula. Walaupun gue gak ngerti buat apa ada kolam ikan di
tengah-tengah rumah makan. Jangan-jangan pas gue mesen makanan, pelayannya
bakal bilang, “Silahkan gigit langsung dari kolam itu.”
Dari tempat kita duduk,
kita bisa melihat sawah di luar. Untungnya ini udah malam jadi gak ada kebo
yang gangguin. Agak gak elit aja kalo pas gue nembak, “Aku sayang sama kamu,
maukah kamu jadi… MOOO… gue?” Kedengarannya seperti gue ngajak Ina buat
ngebajak sawah bareng.
Pelayan pun datang
membawa menu. Seorang pria muda, dengan baju seragam warna merah. Dari jauh
terlihat dia tersenyum terus, bahkan
ketika menyerahkan menu dia juga tersenyum. Antara biar keliatan ramah atau
emang dari sononya gak bisa mingkem.
Gue iseng-iseng
membalas senyum sambil mengedipkan mata untuk mengetahui arti senyumannya.
Dia agak kaget, mundur
dikit lalu masang tampang horor. Dari ekspresinya gue tau apa yang
dipikirkannya, “Gila, gue disenyumin cowok aneh. Jangan-jangan dia suka pada
gue lagi. Gawat, gue harus kuat, gue gak boleh tergoda.”
Gue melihat menu
makanan dengan muka serius. Ada ayam bakar, ikan bakar dan macem-macem.
“Saya pesen tutug
oncomnya satu, cumi-cuminya satu, teh botolnya satu,” kata gue pada pelayan.
Pelayan diem bentar,
ngeliatin gue dengan tatapan tidak percaya, seolah-olah ingin berkata, “Lo
bayarnya pake duit kan?”
Dia lalu bertanya, “satu?”
“Iyah, satu,” kata gue
mantap.
Pelayannya
geleng-geleng kepala. Kenapa dia geleng kepala? Kenapa dia gak geleng-geleng
pantat? Gue mencoba menganalisa, akhirnya gue mengambil kesimpulan bego:
pelayannya hobi geleng-geleng kepala.
“Lo pesen apa?” kata
gue pada Ina.
“Tutug oncom nya satu,
ayam bakar, sama es jeruk,” kata Ina kepada pelayan lalu tersenyum.
Pelayannya mengangguk
lalu pergi meninggalkan kita berdua.
Bagi yang belum tau
tutug oncom, itu adalah makanan khas sunda, terdiri dari nasi yang dicampur
oncom, kecil, item-item gitu. Bentuknya
kayak nasi ditaburi upil. Walapun bentuknya seram, tapi asli, enak lho.
Coba aja sepiring, pasti nagih (apalagi kalau dibayarin).
Tidak beberapa lama,
pelayan datang membawa pesanan. Meletakannya di atas meja di depan kita. Gue
siap-siap mengambil pesanan gue. Gue
berhenti tiba-tiba ketika melihat ada yang aneh dengan pesanan gue. Enggak,
makanannya gak berubah jadi power ranger. Di depan gue, satu piring tutug
oncom, satu teh botol, dan satu cumi cumi. Madsudnya SATU BIJI CUMI CUMI.
OH MY GOD.
“Ya ampun!!” kata gue
kaget.
“Kenapa?”
“Lihat deh.” Gue menunjuk satu cumi-cumi yang tergeletak
manja di piring kecil.
“Lo pesen satu biji?”
“Gue kira satu itu ya satu
porsi,” kata gue heran. “Pantes aja pelayannya sampai geleng-geleng.”
“Bego!” Ina ngakak.
Gue hanya ketawa
pasrah.
Semua jadi masuk akal,
kenapa pelayannya sampai geleng-geleng. Pasti dalam pikirannya tadi, “Idih, gak
elit banget mesen sebiji”. Gue kirain terenyuh karena melihat orang ganteng
mesen makanan, eh taunya itu toh. Gue garuk-garuk kepala.
Gue mengambil si cumi,
bentuknya kecil, baunya amis. Terus mau gue apakan ini cumi? Mau gue makan,
tapi nangung sebiji. Mau gue buang, tapi sayang. Gue tetep memandangi si cumi.
Kasihan sekali, orang tuamu pasti cemas sekali sekarang. Mungkin di laut sana,
si ibu cumi sedang mencari-carimu. Mungkin juga ibumu sedang di acara stasiun
tv, sambil menangis dia berkata, “Cumi, pulanglah nak, tenang saja, manusia itu
tak akan menggorengmu lagi.”
Kasihan sekali mereka.
“Kenapa lo?” kata Ina
yang sedari tadi bingung ngeliatin gue.
“Oh… enggak…ini cuminya
kasihan banget.”
“HAH?”
Aha, Ina kaget. Biar
tidak disangka cowok aneh, gue mengalihkan pembicaraan.
“Ya udah kita makan
yu.”
Ina tersenyum. kita pun
makan dengan brutalnya.
Makanan sudah habis,
perut sudah kenyang. kita lalu ngobrol-ngobrol ringan.
Ina bercerita ia sangat
ingin tinggal di pedesaan. Ia sudah bosan melihat jalan raya yang macetnya
kebangetan, merasakan udara yang panas dan pengap, melihat sungai penuh sampah.
Ia juga bercerita ingin
cepat-cepat bekerja, hidup mandiri, supaya orang tuanya tau dia bukan cewek
manja. Diakhir ceritanya Ina tersenyum.
Di bawah keremangan
lampu warna orange, di sebuah rumah makan sunda yang adem, di depan piring
kecil bekas satu biji cumi, Ina tersenyum manis, tidak… tapi manis sekali.
Mungkin inilah yang
membuat gue cinta pada Ina.
Dan inilah saatnya,
inilah waktu yang tepat.
“Na, boleh gue ngomong
sesuatu gak?” kata gue gemetaran. Gue menelan ludah. Jantung gue berdebar kencang.
Kalau jantung gue itu gempa bumi, mungkin bumi sudah kiamat dari tadi.
“Kenapa lo, tiba tiba
serius kayak gitu,” kata Ina. Lalu melanjutkan dengan nada bercanda
“Jangan-jangan, lo mau nembak gue lagi?” Ina ketawa
JEGER.
“Hahaha...ya enggak
lah...haha...geer lo.” Mati deh gue. Gue
udah deg-deg-an ngomong, malah ditebak gitu.
Gue cuman bisa ketawa
datar. Lalu telepon Ina berbunyi dan segera menjawabnya. Dia ngobrol-ngobrol
sebentar lalu tersenyum manis.
“Siapa?” kata gue
ketika melihat Ina menutup telepon.
“Rangga.”
“Oh,” gue mangap lebar.
“Oh ya gue juga mau
ngomong sesuatu sama lo,” kata Ina dengan nada serius.
“Se-sebenernya,” Ina
bicara agak gagap. Gue menyadari sesuatu, jangan-jangan Ina bakal nembak gue.
Kembali jantung gue deg-deg-an.
“Iya apa?”
“sebenernya gue… suka
sama… Rangga”
JEGER JEGER
“Te-terus?”
“Lo bisa bantuin
nyomblangin gue kan?”
JEGER JEGER JEGER .
Bumi gonjang-ganjing, gunung meletus, tsunami besar datang. Semua orang terbang
ke surga.
Oh mampuslah gue, gue
mesti gimana sekarang. Gue bisa saja mengalihkan topik dengan ngomong,
"Lihat ada gerobak es krim terbang.” Tapi dengan begonya gue malah ngomong
“OK”
Setelah satu kata itu
terucap, gue jerit dalam hati, “AAA..., kenapa harus OK, KENAPA!!!”
Cinta emang bikin orang
buta. Gue telah buta melihat siapa yang disukai Ina sebenarnya. Gue seharusnya
sadar dari dulu, Ina tersenyum dengan cara yang sama pada semua orang. Pada mas
pelayan, pada mbak bioskop, pada semua orang yang dilihatnya, dan tentunya pada
gue juga. Tapi pada Rangga, sama sekali berbeda. Lebih manis, lebih dalam
artinya.
“Lo tadi mau ngomong
apa?” kata Ina membuyarkan lamunan gue.
“Enggak…i-itu, cuminya
kasihan banget”
Krik.
Dimuat di dalam buku antologi Gradien: Kebelet Kawin, Mak!
Label:
nyoba nulis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
mantap dan asikk karyanya...
semangaat terus berkarya kawan..
Blogwalking Senja hari
sambil mengundang rekan blogger sekalian
Kumpul di Lounge Event Tempat Makan Favorit
sukses selalu
Salam Bahagia
dibaca 4 Juni 2021 oleh bukan penggemar juga bukan rahasia.
Posting Komentar
Arigatou gozaimasu