Komunitas

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

Minggu, 03 Juni 2012

(cerpen) Cuminya Kasihan Banget


Di depan gue saat ini ada ruangan 10 x 10 meter dengan pemandangan yang paling mengerikan. Kerlap kerlip, penuh rnamen unyu-unyu, dan satu lagi yang gak kalah serem: dindingnya  berwarna pink, beuh. 
Mungkin bagi cewek, toko accessories serba pink ini adalah pemandangan bak di surga. Tapi bagi gue, ini seperti ruangan penyiksa abad 21. Gue harus memilih 2 pilihan, masuk dengan resiko dianggap cowok melambai, atau gak masuk lalu dianggap cemen sama gebetan kita. Dan sebentar lagi gue akan masuk kesana.  

Oh Tuhan selamatkanlah saya.

***
Malam minggu ini gue akan first date dengan seorang Ina.
Ina adalah temen kuliah gue. Wajahnya manis, kulitnya putih, rambutnya hitam sebahu (bukan, dia bukan mochi berambut). Mukanya tambah manis kalau tersenyum. Berubah pahit kalau disiram oli.
Perkenalan gue dan Ina bermula saat gue dan Rangga, sedang berjalan anteng di kampus. Tiba-tiba dari jauh terlihat cewek melambai ke arah gue. Sebagai cowok normal tentu gue geer.

Tidak hanya melambai, dia juga berlari ke arah gue. Kontan gue panik, karena saat itu gue hanya memakai kaus putih dengan jaket yang di bagiannya keteknya bolong, dipadu celana jeans bapuk. Intinya: gue seperti gembel professional.
 Mencoba tidak peduli, perhatian gue kembali ke cewek tersebut. Jarak gue dan dia semakin dekat. Gue memasang muka super ganteng. Dia semakin dekat dan semakin dekat, lalu dalam hati gue berkata, “Ih, dia tersenyum, manisnya. Ah, dia melambai, cute nya. Hii, dia ngupil, jorok nya!!!”
Dia udah deket banget. Gue memasang muka yang lebih ganteng lagi, lalu gue sadar kegantengan gue udah mentok. Gue senyum selebar mungkin, bahkan gue siap berpelukan. Lalu dia berkata,
“Hai Ga, mo kemana?”
Ga? Mangga siapa? oh, ternyata dia tersenyum ke Rangga. Oh mampuslah gue.
Pingsan.
Setelah kejadian memalukan itu, gue kenalan dengan dia. Gue tau dia namanya Ina, dia juga tau nama gue Erik. Gue tau no hp nya 081234567xxx, dia juga tau no hp gue 08133333xxx, lalu berapakah nilai x? (lho?).
Ina suka sekali makan makanan Jepang seperti shusi. Sedangkan gue taunya cuman mie ayam ibu Susi. Ina suka sekali nonton infotaiment, sampai-sampai dia tau gosip yang lagi hot dan yang udah gak hot. Dari artis lokal sampai yang interlokal (gosip kok kayak telepon). Intinya kita saling mengenal layaknya orang pdkt.
Tiap malam bawaanya gelisah terus. Mau makan, inget Ina. Mau minum, inget Ina lagi, mau bikin KTP baru, deh inget pak RT. Rasanya semua isi rumah itu Ina semua. Bahkan, pas gue ngasih makan kucing gue, entah mengapa si Empus  jadi mirip Ina. Sampai-sampai ketika si Empus makan, gue jadi panik lalu berteriak, “Ina jangan makan itu, itu makanan kucing. JANGAN!”  Setelah itu si Empus malah nyakar gue.
Mungkinkah gue jatuh cinta, tapi apa yang membuat gue jatuh cinta. 
Persetan dengan alasan, yang jelas, gue emang jatuh cinta pada Ina. Karena udah gregetan pengen jadiin dia pacar, akhirnya gue pun ngajak ngedate untuk yang pertama kalinya.  Biar apdol sekalian aja gue tembak. Yah, it’s good idea.
***
“Ayo,” kata Ina pada gue yang sedari tadi memasang muka horror, seolah habis melihat nenek-nenek joget shuffle. Kita berdua sedang berdiri di depan toko accessories serba pink.
“Uhh,” gue menggeleng.“Kayaknya gue nunggu disini aja deh.”
“Kenapa lo?” tanya Ina. Dia menatap muka gue yang setengah enggan. “Oh,” dia mangut-manggut ngerti. “Gapapa kali, santai aja.”
“Gak deh kayaknya. kalo temen gue lihat gimana?” kata gue. “Atau yang lebih parah, kalo nyokap mergokin gue di tempat kayak gitu, gue mesti bilang apa coba, APA?”
 Ina ketawa pelan. “Duh, cemen lo.”
Anjrit gue dikatain cemen.
“Santai aja gak bakal di kira kok,” lalu Ina melanjutkan, “Kan udah mirip haha,” Ina ketawa ngakak.
Gue ikutan ketawa, “Becanda lo hahaha…”
“Gue serius.” Ina ketawa lagi lebih keras
Gue diem.
Entah bercanda atau tidak, baru saja gue di bilang ‘mirip cowok melambai’ sama gebetan  yang mau gue tembak. Ini jelas tidak baik.
“Oke-oke kita nonton aja ya,” kata Ina
Gue sujud syukur.
Kita kemudian berjalan ke bioskop.
Karena ini malam minggu, mall terlihat  ramai oleh pasangan kekasih. Mereka berjalan bergandengan tangan, gue sendiri cuman berjalan bersebelahan tanpa bergandengan. Jelas, ini semacam tekanan sosial buat gue. Di satu sisi gue pengen banget gandeng Ina, di sisi lain gue gak mungkin tiba-tiba gandeng tangan Ina, bisa-bisa malah dia nyakar gue atau yang paling parah, dia bakal nyakar gue pake silet, ngelindes pake gerobak, terus dicincang dijadikan makanan sapi..
Begitu sampai di bioskop, masalah muncul lagi.
Semua orang tau, menonton film sebelum nembak pengaruhnya besar. Ini masalah bagaimana membentuk mood dengan baik . Kalau kita menonton film komedi, mood bercanda lah yang naik, kalau kita nonton film romantis, tentu mood cinta-cintaanlah yang terbentuk.
 Intinya: kita harus selektip dalam memilih film.
Masalahnya : gue gak tau film romantis mana yang bagus.
“Mau nonton apaan?” seru Ina sambil celingukan.
“Uhh, apaan yah?” gue garuk-garuk kepala.
“Gimana kalau yang itu?” Ina menunjuk ke arah gambar di dinding  belakang gue.
Terlihat di sana, film kartun dengan gambar beberapa orang cebol warna biru.
Oh wow, kata gue dalam hati. Film macam apa ini? Apakah ini film tentang orang cebol yang suka minum cat, hingga tubuh mereka berubah warna? Apakah saat kecil, orang tua mereka tidak menasehatinya, “Nak, cat itu buat dinding, bukan untuk diminum."
“Film apaan tuh, cebol biru-biru gitu?” tanya gue heran.
“Gak tau, tapi kayaknya seru aja. Sesekali liat film kartun gak apa-apa kan?”
“Gak mau yang laen?”
"Film apa ?" Ina balas nanya.
Gue lalu melihat film lain. Gue shock. Film lain malah lebih parah. Ada film hantu gak jelas: dengan gambar cowok, item, basah, dekil. Itu hantu atau orang kecebur got. Ada lagi Film anak-anak maen bola. Walaupun terlihat normal, agak aneh buat gue, jauh-jauh ke mall cuman liat anak maen bola. Di kampung gue juga banyak. Maka itu gue cuman bilang “Ok, film kartun aja.”
Maka rencana membangun mood cinta-cintaan berubah menjadi mood minum cat bareng-bareng.

Sehabis nonton film yang aneh itu (dan ternyata emang seru), gue ngajakin Ina ke sebuah rumah makan sunda.
Ini pertama kalinya gue ke rumah makan ini. Karena rumah makan ini juga baru dibuka sekitar semingguan. Gue  tau tempat ini, dari seorang teman katanya, “Di sana enak banget, tempatnya adem, murah lagi.” Dengan alasan pengen makan di tempat yang adem (dan juga murah tentunya), gue pun coba-coba.
Gue melihat-lihat seisi rumah makan. Semuanya terbuat dari bambu, di tengah-tengahnya ada kolam ikan. Ikannya gede-gede pula. Walaupun gue gak ngerti buat apa ada kolam ikan di tengah-tengah rumah makan. Jangan-jangan pas gue mesen makanan, pelayannya bakal bilang, “Silahkan gigit langsung dari kolam itu.”
Dari tempat kita duduk, kita bisa melihat sawah di luar. Untungnya ini udah malam jadi gak ada kebo yang gangguin. Agak gak elit aja kalo pas gue nembak, “Aku sayang sama kamu, maukah kamu jadi… MOOO… gue?” Kedengarannya seperti gue ngajak Ina buat ngebajak sawah bareng.
Pelayan pun datang membawa menu. Seorang pria muda, dengan baju seragam warna merah. Dari jauh terlihat dia  tersenyum terus, bahkan ketika menyerahkan menu dia juga tersenyum. Antara biar keliatan ramah atau emang dari sononya gak bisa mingkem.
Gue iseng-iseng membalas senyum sambil mengedipkan mata untuk mengetahui arti senyumannya.
Dia agak kaget, mundur dikit lalu masang tampang horor. Dari ekspresinya gue tau apa yang dipikirkannya, “Gila, gue disenyumin cowok aneh. Jangan-jangan dia suka pada gue lagi. Gawat, gue harus kuat, gue gak boleh tergoda.”
Gue melihat menu makanan dengan muka serius. Ada ayam bakar, ikan bakar dan macem-macem.
“Saya pesen tutug oncomnya satu, cumi-cuminya satu, teh botolnya satu,” kata gue pada pelayan.
Pelayan diem bentar, ngeliatin gue dengan tatapan tidak percaya, seolah-olah ingin berkata, “Lo bayarnya pake duit kan?”
Dia lalu bertanya, “satu?”
“Iyah, satu,” kata gue mantap.
Pelayannya geleng-geleng kepala. Kenapa dia geleng kepala? Kenapa dia gak geleng-geleng pantat? Gue mencoba menganalisa, akhirnya gue mengambil kesimpulan bego: pelayannya hobi geleng-geleng kepala.
“Lo pesen apa?” kata gue pada Ina.
“Tutug oncom nya satu, ayam bakar, sama es jeruk,” kata Ina kepada pelayan lalu tersenyum.
Pelayannya mengangguk lalu pergi meninggalkan kita berdua.
Bagi yang belum tau tutug oncom, itu adalah makanan khas sunda, terdiri dari nasi yang dicampur oncom, kecil, item-item gitu. Bentuknya  kayak nasi ditaburi upil. Walapun bentuknya seram, tapi asli, enak lho. Coba aja sepiring, pasti nagih (apalagi kalau dibayarin).
Tidak beberapa lama, pelayan datang membawa pesanan. Meletakannya di atas meja di depan kita. Gue siap-siap mengambil pesanan gue.  Gue berhenti tiba-tiba ketika melihat ada yang aneh dengan pesanan gue. Enggak, makanannya gak berubah jadi power ranger. Di depan gue, satu piring tutug oncom, satu teh botol, dan satu cumi cumi. Madsudnya SATU BIJI CUMI CUMI.
 OH MY GOD.
“Ya ampun!!” kata gue kaget.
“Kenapa?”
“Lihat deh.”  Gue menunjuk satu cumi-cumi yang tergeletak manja di piring kecil.
“Lo pesen satu biji?”
“Gue kira satu itu ya satu porsi,” kata gue heran. “Pantes aja pelayannya sampai geleng-geleng.”
“Bego!” Ina ngakak.
Gue hanya ketawa pasrah.
Semua jadi masuk akal, kenapa pelayannya sampai geleng-geleng. Pasti dalam pikirannya tadi, “Idih, gak elit banget mesen sebiji”. Gue kirain terenyuh karena melihat orang ganteng mesen makanan, eh taunya itu toh. Gue garuk-garuk kepala.
Gue mengambil si cumi, bentuknya kecil, baunya amis. Terus mau gue apakan ini cumi? Mau gue makan, tapi nangung sebiji. Mau gue buang, tapi sayang. Gue tetep memandangi si cumi. Kasihan sekali, orang tuamu pasti cemas sekali sekarang. Mungkin di laut sana, si ibu cumi sedang mencari-carimu. Mungkin juga ibumu sedang di acara stasiun tv, sambil menangis dia berkata, “Cumi, pulanglah nak, tenang saja, manusia itu tak akan menggorengmu lagi.”
Kasihan sekali mereka.
“Kenapa lo?” kata Ina yang sedari tadi bingung ngeliatin gue.
“Oh… enggak…ini cuminya kasihan banget.”
“HAH?”
Aha, Ina kaget. Biar tidak disangka cowok aneh, gue mengalihkan pembicaraan.
“Ya udah kita makan yu.”
Ina tersenyum. kita pun makan dengan brutalnya.

Makanan sudah habis, perut sudah kenyang. kita lalu ngobrol-ngobrol ringan.
Ina bercerita ia sangat ingin tinggal di pedesaan. Ia sudah bosan melihat jalan raya yang macetnya kebangetan, merasakan udara yang panas dan pengap, melihat sungai penuh sampah.
Ia juga bercerita ingin cepat-cepat bekerja, hidup mandiri, supaya orang tuanya tau dia bukan cewek manja. Diakhir ceritanya Ina tersenyum.
Di bawah keremangan lampu warna orange, di sebuah rumah makan sunda yang adem, di depan piring kecil bekas satu biji cumi, Ina tersenyum manis, tidak… tapi manis sekali.
Mungkin inilah yang membuat gue cinta pada Ina.
Dan inilah saatnya, inilah waktu yang tepat.
“Na, boleh gue ngomong sesuatu gak?” kata gue gemetaran. Gue menelan ludah. Jantung gue berdebar kencang. Kalau jantung gue itu gempa bumi, mungkin bumi sudah kiamat dari tadi.
“Kenapa lo, tiba tiba serius kayak gitu,” kata Ina. Lalu melanjutkan dengan nada bercanda “Jangan-jangan, lo mau nembak gue lagi?” Ina ketawa
JEGER.
“Hahaha...ya enggak lah...haha...geer lo.”  Mati deh gue. Gue udah deg-deg-an ngomong, malah ditebak gitu.
Gue cuman bisa ketawa datar. Lalu telepon Ina berbunyi dan segera menjawabnya. Dia ngobrol-ngobrol sebentar lalu tersenyum manis.
“Siapa?” kata gue ketika melihat Ina menutup telepon.
“Rangga.”
“Oh,” gue mangap lebar.
“Oh ya gue juga mau ngomong sesuatu sama lo,” kata Ina dengan nada serius.
“Se-sebenernya,” Ina bicara agak gagap. Gue menyadari sesuatu, jangan-jangan Ina bakal nembak gue. Kembali jantung gue deg-deg-an.
“Iya apa?”
“sebenernya gue… suka sama… Rangga”
JEGER JEGER
“Te-terus?”
“Lo bisa bantuin nyomblangin gue kan?”
JEGER JEGER JEGER . Bumi gonjang-ganjing, gunung meletus, tsunami besar datang. Semua orang terbang ke surga.
Oh mampuslah gue, gue mesti gimana sekarang. Gue bisa saja mengalihkan topik dengan ngomong, "Lihat ada gerobak es krim terbang.” Tapi dengan begonya gue malah ngomong “OK”
Setelah satu kata itu terucap, gue jerit dalam hati, “AAA..., kenapa harus OK, KENAPA!!!”
Cinta emang bikin orang buta. Gue telah buta melihat siapa yang disukai Ina sebenarnya. Gue seharusnya sadar dari dulu, Ina tersenyum dengan cara yang sama pada semua orang. Pada mas pelayan, pada mbak bioskop, pada semua orang yang dilihatnya, dan tentunya pada gue juga. Tapi pada Rangga, sama sekali berbeda. Lebih manis, lebih dalam artinya.
“Lo tadi mau ngomong apa?” kata Ina membuyarkan lamunan gue.
“Enggak…i-itu, cuminya kasihan banget”
Krik.

Dimuat di dalam buku antologi Gradien: Kebelet Kawin, Mak!

2 komentar:

A&K mengatakan...

mantap dan asikk karyanya...
semangaat terus berkarya kawan..

Blogwalking Senja hari
sambil mengundang rekan blogger sekalian
Kumpul di Lounge Event Tempat Makan Favorit
sukses selalu
Salam Bahagia

nice gan mengatakan...

dibaca 4 Juni 2021 oleh bukan penggemar juga bukan rahasia.