Komunitas

Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

Minggu, 18 Maret 2012

(Cerpen) Satu Senyuman Tulus


Ketika sedang mengobrak-abrik hard disk. Gue menemukan cerpen yang gue buat ketika di kerja di Bandung dua tahun yang lalu. Pas gue baca lagi, hal pertama yang ada dipikiran gue adalah: Kenapa gue bisa segalau ini?. Ya udahlah, yang mau baca silahkan. Kalau enggak…*nangis*.
Yang udah baca ditunggu komennya yah! CEKIDOT!
***

Matahari terik terlihat bersinar memanggang aspal hitam. Mobil dan motor salip menyalip saling mendahului, saling tak ingin ketinggalan atau mungkin sekedar tak ingin kalah. Seperti dua orang egois yang keras kepala.
Mataku memandang lurus ke arah jalanan Bandung yang macet. Sesekali melirik  stasiun yang ada di belakangku, memeriksa apakah kereta yang akan kunaiki sudah datang atau tidak. Aku tak ingin ketinggalan lagi hari ini.


Stasiun Cikudapateuh terlihat lengang. Beberapa anak remaja yang biasa ngamen, asik menghitung penghasilannya . Sungguh ironi, ketika pemerintah sedang gencar-gencarnya dengan program belajar sembilan tahunnya. Mereka disini bekerja dibawah matahari. Menggosongkan kulit mereka, demi receh dan beberapa lembar uang ribuan.

Terdengar nyaring bunyi sirene  dari stasiun. Itu berarti kereta sebentar lagi akan datang. Aku bergegas menaiki tangga, masuk  ke dalam stasiun dan membeli tiket. Beberapa orang sepertinya punya pikiran yang sama. Dan dalam hitungan menit antrian kecil terbentuk.

Kereta masih terlihat jauh. Sementara menunggu, mataku sibuk memandang sekeliling. Lalu kudapati seorang gadis berjalan tergopoh. Di tangannya tiga kantong plastik besar dijinjing dengan susah payah. Dan aku yakin itu terlalu berat untuk ukuran gadis.

Melihat pemandangan getir itu, batinku  bergetar. Ada rasa kasihan dan ingin segera membantunya layaknya di film-film sinetron tak bermutu yang lalu lalang tiap malam. Tapi, sesuatu yang invisible melarangku mendekati gadis yang tak ku temui dua minggu ini.

Aku berpikir sejenak dengan mata masih terpaku memandangnya. Apa aku harus membantunya? Bagaimana kalau ia menolak, atau yang lebih parahnya mungkin ia akan mendorongku ke rel kereta lalu kereta melindasku sampai mati. Yah, imajinasiku memang selalu luar biasa.

Kereta sudah semakin dekat sampai akhirnya berhenti tepat didepanku. Kulirik dia sekali lagi. Astaga, pasti ia takkan bisa mengangkatnya masuk. Tanpa perintah dari otak, kakiku berjalan mendekati.

Dia melirikku dengan alis berkerut. Mencoba untuk tidak salah tingkah, aku melirik kiri dan kanan.
“Sepertinya kau tak bersama seseorang, sini biar aku bantu,” ucapku seramah mungkin. Aku tak tau ia akan memberikan reaksi apa. Aku hanya berharap ia tak bungkam dan melayangkan mata sinisnya. Sungguh, sikapnya yang seperti itu selalu membuatku merasa bersalah. 

Ia mendengus panjang. “Baiklah, aku tak punya pilihan lain.” Ia menyerahkan dua kantong besar ke tanganku dan berkata tegas, “Dan jangan sampai jatuh.” Lalu ia tersenyum.

Sungguh reaksi yang indah kawan! Aku tak pernah berpikir mendapatkan senyuman itu. Setelah semua yang terjadi. Setelah dua orang keras kepala yang saling memegang ego nya masing-masing. Setelah satu tahun menjalin hubungan hancur dengan satu hari yang laknat.

Waktu memang ajaib. Mungkin ini yang dibutuhkan ketika dua orang saling berdebat, yaitu waktu. Waktu untuk berpikir. Waktu untuk merenung. Waktu untuk berintropeksi dan waktu untuk meyakinkan diri bahwa kita ini konyol. Memperdebatkan masalah yang sebenarnya remeh. 

Dan untuk memulainya lagi, cukup dengan satu senyuman. Senyuman yang benar-benar tulus.
Tentu saja, aku pun tersenyum padanya dan berkata, “Tenang saja, semua akan baik-baik saja”.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

keren, suka gaya loe . . .
simpel, dan cara penyampaiannya keren, ga bertetele-tele
coba dipanjangin, kekeke

Eri Iyas mengatakan...

ohoho arigatou gozaimasu